Seni Menyambung
Oleh Supriyadi
Film yang kita tonton sebetulnya merupakan serangkaian ratusan atau bahkan ribuan gambar yang sebelumnya disusun oleh editor. Gambar atau shot dipilih, dipotong, disambung, menjadi sebuah adegan atau scene, scene itu digabungkan yang kemudian terbentuklah sebuah cerita yang utuh. Shot-shot yang sebelumnya berserakan bagaikan sebuah fuzzle yang bisa jadi sulit untuk dimengerti, ketika disusun terstruktur oleh seorang editor maka akan menjadi satu tontonan yang menarik.
Memilih, memotong, menyambung, menggabungkan shot, tidak semata urusan teknis mekanis sinematik, lebih dari itu akan menjadi urusan rasa atau sense. Nah, jika sebuah karya cipta sudah menggunakan sense maka disadari atau tidak sudah masuk ranah seni. Oleh karena itu editing sebagai bagian tahap proses pembuatan film penulis namai sebagai seni menyambung.
Tulisan Seni Menyambung ini merupakan artikel serial (sekitar 20 seri) yang diharapkan akan menjadi sebuah buku sebagai referensi bagi peminat atau calon editor film di Indonesia. Semoga bermanfaat.
Masa Awal Editing, Edwin S. Porter
Pada awal film pertama kali dibuat tidak mengenal editing, di masa ini film berdurasi pendek sekitar satu menit. Namun ketika film sudah berdurasi panjang sekalipun, seperti Méliès yang sudah berdurasi 14 menit belum ada editing di dalamnya. Film baru merupakan satu shot saja, pada saat itu kamera merekam adegan tanpa ada interupsi pemotongan shot sama sekali. Editing atau penyuntingan gambar pertama kali dilakukan pada film A Trip to the Moon, percobaan ini dilakukan oleh Edwin S. Porter. Porter melakukan apa yang dinamakan sebagai visual continuity, sebuah gagasan luar biasa yang hingga saat ini masih dianut oleh para penyunting gambar. Dalam filmnya The Life of American Fireman, Porter membuat 20 rangkaian shot menjadi satu rangkaian cerita. Film ini sangat sederhana, seorang pemadam kebakaran membantu menyelamatkan seorang ibu dan anak yang terjebak di dalam sebuah gedung yang terbakar. Dengan durasi 6 menit, Porter memperlihatkan adegan menjadi sebuah rangkaian dramatis penyelamatan ke dua orang itu. Porter melakukan intercut adegan penyelamatan di dalam ruangan atau interior dengan gambar lain sebuah kebakaran eksterior gedung. Penggabungan antara interior dengan eksterior tersebut membuat satu rangkaian yang dinamis. Penonton akan mengira bahwa ibu dan anak tersebut bener-benar terjebak dalam gedung yang terbakar, padahal eksterior gedung yang terbakar sebetulnya tidak ada ibu dan anak tadi. Inilah yang dinamakan juxtaposition atau juksta posisi, yakni penempatan atau posisi shot. Dengan jukstaposisi memungkinkan akan melahirkan nilai dramatis baru dibandingkan dengan shot yang berdiri sendiri. Percobaan Porter tidak berhenti di situ, dalam film naratif The Great Train Roberry, Porter melakukan eksplorasi lagi. Porter, memiliki andil cukup besar dalam perkembangan konsep editing narrative continuity.
D.W. Griffith

Vsevolod I. Pudkovin

The film director [as compared to the theater director], on the other hand, has as his material, the finished, recorded celluloid. This material from which his final work is composed consists not of living men or real landscapes, not of real, actual stage-sets, but only of their images, recorded on separate strips that can be shortened, altered, and assembled according to his will. The elements of reality are fixed on these pieces; by combining them in his selected sequence, shortening and lengthening them according to his desire, the director builds up his own “filmic” time and “filmic” space. He does not adapt reality, but uses it for the creation of a new reality, and the most characteristic and important aspect of this process is that, in it, laws of space and time invariable and inescapable in work with actualitybecome tractable and obedient. The film assembles from them a new reality proper only to itself.
Waktu dalam film dan ruang dalam film, menjadi cukup populer hingga kini. Saat itu Pudkovin melakukan eksperimen bersama temannya Lev Kuleshov, dia mencoba shot yang sama untuk juksta posisi dengan shot lainnya, dan ternyata memberikan pengaruh lain pada audiens. Pada eksperimen ini dia menggunakan aktor Ivan Mosjukin, shot sang aktor dengan ekspresi yang sama dicoba disambungkan dengan 3 shot berbeda yakni dengan : semangkuk soup di atas meja, sebuah shot seorang mayat wanita dalam peti mati, dan gadis kecil yang sedang bermain dengan mainannya. Dengan eksperimen ini ternyata penonton memaknai berbeda pada ekspresi Ivan Mosjukin tadi, pertama dia terlihat seperti orang yang sedang sangat lapar karena berhadapan dengan makanan, kedua dia kelihatan seperti suami yang sedang bersedih, dan ke tiga seperti seorang ayah yang bahagia dengan anaknya.
Shot yang sama jika ditempatkan atau dijuktaposisi dengan shot yang berbeda ternyata menghasilkan “ekspresi yang berbeda” dihadapan penonton, dan ini penting sekali. Jadi, ketika editor melakukan penempatan satu shot dengan shot lainnya, dia harus memikirkan apa dampak yang akan dihasilkan ketika shot tersebut disambungkan.
Sergei Eisenstein

sumber :
http://pojokspy.blogspot.com/2010/10/seni-editing-part1.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar